Kamis, 13 November 2014

ETIKA PROFESI AKUNTANSI

I.     ETIKA DALAM AUDITING
Etika dalam auditing adalah suatu proses yang sistematis untuk memperoleh serta mengevaluasi bukti secara objektif mengenai asersi-asersi kegiatan ekonomi, dengan tujuan menetapkan derajat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut, serta penyampaian hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
           1.     Kepercayaan Publik
Etika dalam auditing adalah suatu prinsip untuk melakukan proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi untuk menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi yang dimaksud dengan kriteria-kriteria yang dimaksud yang dilakukan oleh seorang yang kompeten dan independen.
Profesi akuntan memegang peranan yang penting dimasyarakat, sehingga menimbulkan ketergantungan dalam hal tanggung-jawab akuntan terhadap kepentingan publik. Kepentingan Publik merupakan kepentingan masyarkat dan institusi yang dilayani anggota secara keseluruhan. Ketergantungan ini menyebabkan sikap dan tingkah lakuakuntan dalam menyediakan jasanya mempengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat dan negara.

          2.    Tanggungjawab Auditor kepada Publik
Profesi akuntan di dalam masyarakat memiliki peranan yang sangat penting dalam memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib dengan menilai kewajaran dari laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan. Ketergantungan antara akuntan dengan publik menimbulkan tanggung jawab akuntan terhadap kepentingan publik. Dalam kode etik diungkapkan, akuntan tidak hanya memiliki tanggung jawab terhadap klien yang membayarnya saja, akan tetapi memiliki tanggung jawab juga terhadap publik. Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentingan masyarakat dan institusi yang dilayani secara keseluruhan. Publik akan mengharapkan akuntan untuk memenuhi tanggung jawabnya dengan integritas, obyektifitas, keseksamaan profesionalisme, dan kepentingan untuk melayani publik. Para akuntan diharapkan memberikan jasa yang berkualitas, mengenakan jasa imbalan yang pantas, serta menawarkan berbagai jasa dengan tingkat profesionalisme yang tinggi. Atas kepercayaan publik yang diberikan inilah seorang akuntan harus secara terus-menerus menunjukkan dedikasinya untuk mencapai profesionalisme yang tinggi.
Justice Buger  mengungkapkan bahwa akuntan publik yang independen dalam memberikan laporan penilaian mengenai laporan keuangan perusahaan memandang bahwatanggung jawab kepada publik itu melampaui hubungan antara auditor dengan kliennya.
Ketika auditor menerima penugasan audit terhadap sebuah perusahaan, hal inimembuat konsequensi terhadap auditor untuk bertanggung jawab kepada publik. Penugasan untuk melaporkan kepada publik mengenai kewajaran dalam gambaran laporan keuangan dan pengoperasian perusahaan untuk waktu tertentu memberikan ”fiduciary responsibility” kepada auditor untuk melindungi kepentingan publik dan sikap independen dari klien yang digunakan sebagai dasar dalam menjaga kepercayaan dari publik.

          3.    Tanggungjawab Dasar Auditor
The Auditing Practice Committee, yang merupakan cikal bakal dari Auditing Practices Board, ditahun 1980, memberikan ringkasan (summary) tanggung jawab auditor:
·  Perencanaan, Pengendalian dan Pencatatan. Auditor perlu merencanakan, mengendalikan dan mencatat pekerjannya.
·      Sistem Akuntansi. Auditor harus mengetahui dengan pasti sistem pencatatan dan pemrosesan transaksi dan menilai kecukupannya sebagai dasar penyusunan laporankeuangan.
·    Bukti Audit. Auditor akan memperoleh bukti audit yang relevan dan reliable untuk memberikan kesimpulan rasional.
·     Pengendalian Intern. Bila auditor berharap untuk menempatkan kepercayaan pada pengendalian internal, hendaknya memastikan dan mengevaluasi pengendalian itu dan melakukan compliance test.

           4.    Independensi Auditor
Independensi adalah keadaan bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain (Mulyadi dan Puradireja, 2002: 26). Dalam SPAP (IAI,2001: 220.1) auditor diharuskan bersikap independen, artinya tidak mudah dipengaruhi, karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum (dibedakan di dalam hal ia berpraktik sebagai auditor intern).
Terdapat tiga aspek independensi seorang auditor, yaitu sebagai berikut
a.  Independence in fact (independensi dalam fakta). Artinya auditor harus mempunyaikejujuran yang tinggi, keterkaitan yang erat dengan objektivitas.
b. Independence in appearance (independensi dalam penampilan). Artinya pandangan pihak lain terhadap diri auditor sehubungan dengan pelaksanaan audit.
c. Independence in competence (independensi dari sudut keahliannya). Independensidari sudut pandang keahlian terkait erat dengan kecakapan profesional auditor.
Meninjau Ulang Laporan Keuangan yang Relevan. Auditor melaksanakan tinjau ulang laporan keuangan yang relevan seperlunya, dalam hubungannya dengan kesimpulan yang diambil berdasarkan bukti audit lain yang didapat, dan untuk memberi dasar rasional atas pendapat mengenai laporan keuangan.

          5.    Peraturan Pasar Modal & Regulator mengenai independensi Akuntan Publik
Peraturan Pasar Modal dan Regulator mengenai Independensi Akuntan Publik diatur dalam Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-310/B1/2008 Tentang Independensi Akuntansi yang Memberikan Jasa di Pasar Modal.
Bagian khusus yang mengatur tentang independensi terdapat pada lampiran mulai poin ketiga yang menyebutkan bahwa dalam memberikan jasa profesional, khususnya dalam memberikan opini, Akuntansi wajib senantiasa mempertahankan sikap independen.
Dalam aturan tersebut, juga dinyatakan bahwa akuntan tidak independen apabila selama Periode Audit dan selama Periode Penugasan Profesionalnya, baik akuntan, Kantor Akuntan Publik, maupun Orang dalam Kantor Akuntan Publik apabila:
a.    Mempunyai kepentingan keuangan langsung atau tidak langsung yang material pada klien.
b.     Mempunyai hubungan pekerjaan dengan klien.
c.    Mempunyai hubungan usaha secara langsung atau tidak langsung yang material dengan klien.
d.    Memberikan jasa astesi selain yang sedang mendapat penugasan dan jasa non astesi kepada kilen.
e.   Memberikan jasa atau produk kepada klien dengan dasar Fee Kontinjen atau komisi, atau menerima Fee Kontinjen atau komisi dari klien.



II.  ETIKA DALAM AKUNTANSI KEUANGAN DAN AKUNTANSI MANAJEMEN
          1.   Tanggung jawab Akuntan Publik
Tanggung jawab utama praktisi pajak adalah sistem pajak. Suatu sistem pajak yang baik dan kuat harus terdiri dari entitas administrasi pajak, kongres, administrasi dan komunitas praktisi. Selain itu ketika secara umum menyetujui bahwa praktisi pajak mempunyai kewajiban atas kemampuan, loyalitas dan kerahasiaan klien, hal ini disebut juga tanggung jawab praktisi atas sistem pajak yang baik.
Tanggung jawab praktisi pajak yangg terakhir adalah pentingnya pervasive (peresapan). Dalam hubungan antara praktisi dan klien yang normal, kedua tanggung jawab dikenali dan dilaksanakan. Namun, situasi ini sulit. Dalam beberapa situasi praktisi diperlukan untuk memutuskan kewajiban yang berlaku dan dalam pelaksanaannya dapat disimpulkan bahwa kewajiban atas sistem pajak yang tertinggi. Praktisi pajak membantu dalam mengatur hukum pajak dengan jujur dan adil dalam pelayanan dan pengembangan kepercayaan klien dalam integritas dan kepatuhan terhadap sistem pajak.
Praktisi lebih baik melayani publik dengan mengadopsi suatu sikap. Aturan etika yang fundamental dalam praktik perpajakan pada tingkat etika personal adalah praktisi pajak harus mengijinkan klien untuk membuat keputusan final. Disamping itu praktisi harus bertanggung jawab tidak menyediakan informasi yang salah untuk pemerintah.

          2.  Etika Akuntan Pajak
Dalam kaitannya dengan etika akuntan pajak, AICPA mengeluarkan Statement on Responsibilities in Tax Practice (SRTP). Adapun isinya adalah sebagai berikut:
SRTP (Revisi 1988) No.1: Posisi Pengembalian Pajak
SRTP (Revisi 1988) No.2: Jawaban Pertanyaan atas Pengembalian
SRTP (Revisi 1988) No.3: Aspek prosedur tertentu dalam menyiapkan Pengembalian
SRTP (Revisi 1988) No.4: Penggunaan Estimasi
SRTP (Revisi 1988) No.5: Keberangkatan dari suatu posisi yang sebelumnya disampaikan di dalam suatu kelanjutan administrative atau keputusan pengadilan
SRTP (Revisi 1988) No.6: Pengetahuan Kesalahan: Persiapan Kembalian
SRTP (Revisi 1988) No.7: Pengetahuan Kesalahan: Cara kerja administrasi
SRTP (Revisi 1988) No.8: Format dan isi nasihat pada klien

          3.  Kompleksitas Aturan Perpajakan Vs Tuntutan Klien
Pajak secara klasik memiliki dua fungsi. Pertama, fungsi budgetair. Kedua, fungsi reguleren. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23  ayat 2, disebutkan bahwa “segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.” Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki fungsi yang luas antara lain sebagai sumber pendapatan negara yang utama, pengatur kegiatan ekonomi, pemerataan pendapatan masyarakat, dan sebagai sarana stabilisasi ekonomi. Kalau kita lihat APBN, pajak selalu dituntut untuk bertambah dan bertambah.
Pemerintah harus memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas negara.  Dalam struktur anggaran negara, seperti halnya negara kita bisa mencapai 75% diperoleh dari pajak. Kondisi inilah yang memicu pemerintah untuk membuat aturan-aturan perpajakan. Aturan perpajakan merupakan masalah yang sebaiknya menjadi prioritas bagi pemerintah supaya tidak terjadi tax avoidance.
Berikut ini beberapa kasus yang mencerminkan kompleksitas aturan perpajakan vs tuntutan klien :
·           Pajak Ganda pada Dividen
Secara teori Indonesia menganut klasikal sistem. Artinya, ada pembedaan subyek pajak yaitu subyek pajak badan dan subjek pajak perseorangan. Yang bermasalah dalam pajak dividen adalah terjadi economic double taxation yang artinya ialah bahwa sebelum dividen dibagi kepada pengusaha, laba tersebut merupakan laba perusahaan yang dikenakan pajak, atau disebut Pajak Korporat. Namun, ketika dibagi lagi kepada pemegang saham di korporat, pemegang saham itu harus dikenakan pajak lagi. Inilah yang disebut sebagai pajak ganda.
Sebagai perbandingan,Malaysia dan Singapura tidak lagi menggunakan pajak atas dividen. Mereka menggunakan kredit sistem yakni  pajak yang bisa dikreditkan kepada para pemegang saham di korporat. Sehingga, korporat hanya dimaknai sebagai sarana. Subyek pajak tetap melekat pada pribadi. Tak ada lagi pajak ganda yang membebani.
·           Sengketa Pajak
Kalau terjadi DISPUTE, yakni hitungan wajib pajak (WP) dengan petugas pajak berbeda. Pada UU KUP 2000 kewenangan aparat fiscus terlalu luas. Jika terjadi sengketa SPT, maka apapun yang akan dipakai adalah hitungan aparat pajak, dan hitungan itu harus dibayar lebih dahulu oleh WP sebesar 50 persen dari hitungan petugas pajak sebelum bisa dibawa kepada pengadilan pajak. Kalau hitungan WP yang dinyatakan pengadilan benar maka WP berhak menerima restitusi. Namun, uang restitusi itu kenyataannya tidak segera dibayarkan oleh fiscus.
Jika uang restitusi jumlahnya milyaran, jelas saja mengganggu cash flow para pengusaha. Inilah persoalan dalam dispute antara WP dengan aparat pajak. Untungnya, dalam UU KUP 28/2007 perhitungan SPT ditentukan secara bersama-sama. Jika ada perbedaan klaim angka, maka yang lebih dahulu dipakai adalah klaim WP. Sebelum masuk ke pengadilan pajak, WP hanya cukup membayar sebesar 50 persen dari klaim hitungan WP sendiri.
·           Tarif Pajak Yang Tinggi
Ketua Tax Centre UI, Tafsir Nurchamid dan pengusaha Anton J Supit mengatakan bahwa tarif yang tinggi kalau diturunkan punya dampak pada seretnya penerimaan negara. Padahal disaat yang sama pendapatan negara itu sebagian besar ditujukan untuk membayar hutang dan obligasi rekap. Meskipun semestinya menurut Anton J Supit penerimaan dari pajak itu digunakan untuk membangun infrastruktur.
Banyak kalangan perpajakan seperti Permana Agung, Gunadi, dan Haula Rusdiana mengatakan sebaiknya ada kebijakan untuk membuat tarif menjadi lebih rendah.
Selain lebih kompetitif bagi dunia usaha, pajak yang rendah dianggap justru akan meningkatkan penerimaan negara karena semakin banyaknya potensi pajak yang terjaring. Satu triliun dari seratus orang jauh lebih baik ketimbang satu triliun hanya dari sepuluh pembayar pajak. Tarif yang tinggi membuat yang bayar menjadi sedikit. Sehingga membuat banyak orang yang lain lebih sering menghindar dan kucing-kucingan dengan petugas pajak. Dalam pikiran mereka, sekali Anda punya NPWP sampai mati Anda akan dikejar oleh aparat pajak. Prinsip ini membuat mereka kalau bisa selalu main belakang dengan fiscus.



DAFTAR PUSTAKA
Sungguh, A (2004). Etika Profesi Jakarta : Sinar Grafika
Ludigdo, U (2007). Paradoks Etika Akuntan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-310/B1/2008 Tentang Independensi Akuntansi yang Memberikan Jasa di Pasar Modal